KERAJINAN KULIT
Industri kerajinan tangan merupakan salah satu sektor industri yang cukup menjanjikan di kalangan masyarakat, terutama di kawasan objek wisata. Indonesia memiliki kekayaan budaya dan produk kerajinan yang sangat beranekaragam. Produk kerajinan tangan yang dihasilkan terdiri dari berbagai macam bahan, salah satunya dari kulit. Dengan bahan dasar kulit, dapat dibuat seni tatah sungging yang menggunakan kulit sebagai media kreatif. Produk yang dihasilkan berupa wayang kulit, kipas, hiasan dinding, miniatur wayang, kaligrafi, pembatas buku, kap lampu, pigura, kipas tangan serta souvenir lainnya.
Kerajinan tatah sungging terutama wayang kulit adalah kerajinan yang memadukan seni dan sejarah wayang kulit. Ini dikarenakan untuk membuat wayang kulit diperlukan kemauan belajar yang tinggi, keuletan dan rasa kecintaan yang tinggi dengan cerita pewayangan. Wayang kulit sebagai salah satu warisan leluhur khususnya dari Kraton Yogyakarta diharapkan menjadi contoh warisan yang dijaga dan dipertahankan demi kelangsungan keberadaan wayang kulit khususnya dan sebagai identitas kota Yogyakarta pada umumnya.
Industri kerajinan tatah sungging mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Industri kerajinan ini telah terkenal hingga ke mancanegara. Di provinsi Yogyakarta, tepatnya di Dusun Karangasem Desa Wukirsari, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta banyak terdapat centra pengrajin tatah sunggging. Di daerah ini, hampir 80% penduduknya memiliki profesi sebagai pengrajin tatah sungging.
Untuk membuat suatu wayang kulit memerlukan beberapa tahapan kerja, di antaranya yaitu :
Pembelian kulit
Kulit yang digunakan untuk membuat wayang kulit terdiri dari beberapa macam, yaitu kulit mentah dan kulit split. Kulit mentah adalah kulit yang langsung digunakan untuk proses pembuatan wayang kulit tanpa melalui proses kimiawi. Sedangkan kulit split adalah kulit yang sudah melalui proses kimiawi di pabrik. Kulit yang digunakan untuk membuat wayang kulit biasanya berasal dari kulit kerbau, sapi, dan kambing. Sebagian besar kulit diperoleh dari daerah Magetan (Jawa Timur), Sukoharjo, Solo, Segoroyoso (Yogyakarta) dan Magelang.
Pengolahan kulit
Direndam dengan air selama satu hari sampai lunak. Kemudian direntangkan atau dipentangkan dengan menggunakan tali dan pigura kayu yang kuat. Selanjutnya kulit tersebut dijemur di bawah terik matahari sampai benar-benar kering. Kulit yang sudah kering segera ditipiskan dengan cara dikerok. Bagian yang dikerok adalah bagian rambut (bagian luar) dan sisa-sisa daging yang masih melekat (bagian dalam). Kulit dikerok dengan menggunakan pisau atau pethel sedikit demi sedikit secara hati-hati. Kulit bagian dalam dikerok terlebih dahulu dan lebih banyak dikurangi agar diperoleh kulit yang berkualitas. Setelah itu, baru dilanjutkan pengerokan kulit bagian luar. Pengerokan kulit bagian luar hanya sedikit saja karena bila dilakukan pengurangan terlalu banyak maka kulit yang dihasilkan akan menjadi mudah patah bila dilipat. Bila perlu, pada bagian ini hanya dihilangkan rambut-rambutnya saja dan dibersihkan dengan air. Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mempermudah pengerokan rambut pada kulit, seperti merendam kulit dengan air mendidih, dan dengan menggunakan air kapur sebelum dipentangkan. Torehan pisau pada proses pengerokan hanya dilakukan satu arah dari atas ke bawah. Setelah kulit ditipiskan, sisa-sisa kerokan dibersihkan dengan air dan bagian yang dikerok dihaluskan dengan amplas. Selanjutnya, dijemur di panas sinar matahari lagi hingga kering secara merata.
Setelah kering, kulit dilapisi dengan warna dasar untuk menutup pori-pori kulit agar permukaannya rata. Kemudian mulai dibentuk sketsa di permukaan kulit. Setelah itu, tepi sketsa ditatah sehingga diperoleh bentuk dasar. Tahap selanjutnya adalah memperhalus tatahan dasar dan membuat kombinasi yang indah dalam terawangan cahaya. Setelah terbentuk wayang secara kasar, maka bagian muka dan detail lainnya di bagian sketsa dalam mulai ditatah. Proses ini sangat penting karena berpengaruh pada karakter wayang yang dihasilkan. Setelah melalui tahap ini, wayang yang dihasilkan tersebut dinamakan putihan karena belum diwarnai.
Putihan tersebut diwarnai dengan menggunakan pewarna sintetis, yaitu cat Sandy Colour, dan menggunakan perekat rakol (lem Fox). Setelah selesai dicat dan disempurnakan, wayang kulit diberi penyangga dengan menggunakan tanduk kerbau atau bambu.
Sisa potongan kulit yang dinamakan dengan leresan umumnya dapat digunakan sebagai bahan rambak (krupuk kulit) dan sebagai dipupuk organik.
SUMBER : https://tatahsungging.files.wordpress.com/2011/07/42.jpg
SUMBER : https://tatahsungging.files.wordpress.com/2011/07/42.jpg
0 komentar:
Posting Komentar